Dioz,Yosafat,Dion

Minggu, 14 Maret 2010

Kenapa Harus QWERTY??


Pernahkah Anda bertanya, mengapa susunan huruf dalam keyboard mesin ketik, komputer, hingga PDA kita berupa “QWERTYUIOP” dan seterusnya? Mengapa tidak dibuat saja berurutan seperti “ABCDEFGH” dan seterusnya? Mungkin sebagian dari Anda sudah tahu ceritanya, tetapi kalau-kalau Anda belum tahu bisa saya tulis di sini.

Konon, keyboard tersebut sudah diciptakan sejak tahun 1860an oleh Sholes dan Dunsmore. Awalnya mereka membuatnya berurutan sesuai abjad. Namun, lambat laun seiring dengan meningkatnya kemampuan (kebiasaan) user, kecepatan mengetik menjadi lebih cepat padahal mekanisme mesin saat itu masih sederhana. Akibatnya, (baris) tombol tertentu menjadi sering macet dan menghambat pekerjaan.

Berdasar pengalaman mereka, akhirnya disusunlah keyboard yang sengaja dipersulit dan dibuat tidak efisien untuk “memperlambat” kecepatan mengetik agar keyboard tidak mudah jammed. Desain mesin ketik itu kemudian dijual ke Remington untuk diproduksi secara massal tahun 1873. Susunannya terbagi dalam empat baris, baris teratas berupa “23456789-”, baris kedua “QWE.TYIUOP”, baris ketiga “XDFGHJKLM”, dan baris terbawah “AX&CVBN?;R”.

Seiring berjalannya waktu, teknologi berkembang pesat dan masalah tombol keyboard yang sering macet sudah teratasi dengan desain mekanik yang lebih baik. Sejumlah desain keyboard alternatif juga muncul di pasaran. Salah satu yang cukup populer adalah Dvorak Simplified Keyboard (DSK) yang dibuat oleh August Dvorak tahun 1936. Desain itu diklaim merupakan desain yang lebih efisien, cepat, dan egronomis.

QWERTY sebenarnya punya banyak kelemahan seperti membuat tangan kiri Anda overload terutama ketika menulis dalam bahasa Inggris (hal serupa saya rasakan ketika menulis dalam bahasa Indonesia). QWERTY juga membuat kelingking Anda overload. Penelitian menunjukkan bahwa distribusi huruf tidak merata sehingga jari Anda harus menyeberang dari baris ke baris—-bila dihitung jari tukang ketik tipikal akan berjalan lebih dari 20 mil per hari dibandingkan dengan DSK yang hanya 1 mil.

Sayangnya, orang tetap ogah berpaling dari desain “QWERTY” kendati desain tersebut bukan merupakan desain yang terbaik. Sekalipun teknologi sudah bisa mengatasi problem tombol yang nge-jam, orang tetap bertahan dengan desain “QWERTY” bukannya desain lain yang lebih superior. Alih-alih, QWERTY malah dinobatkan menjadi standar internasional di tahun 1966.

Hal yang sama juga terjadi di Microsoft Windows. Kita tentu tahu bahwa Windows bukanlah sistem operasi terbaik, entah itu dari segi keamanan, kemudahan, kinerja, sampai soal keindahan. Namun, karena penetrasi pasar Windows sudah begitu deras, orang mulai terbiasa menggunakan Windows dan sistem operasi tersebut menjadi terstandardisasi.

Apakah tidak ada yang lebih baik dari Windows? Tentu saja tidak. Namun orang perlu pikir-pikir beberapa kali sebelum berpaling dari standar tersebut. Mereka harus menghadapi barrier seperti faktor biaya, isu kompatibilitas, proses pembelajaran, faktor waktu, dan masih banyak lagi. Akibatnya jumlah mereka yang setia jauh lebih besar daripada yang murtad. Inilah yang menjadikan Windows atau QWERTY kemudian menjadi standar—-kendati mereka bukan yang terbaik.

Dalam dunia ilmiah, fenomena ini dijelaskan sebagai konsep path dependency dan network externality. Intinya, inovasi tidak menghasilkan outcome yang out of the blue, tetapi merupakan perkembangan yang bisa diprediksi dari yang sudah-sudah. Selain itu, value dari inovasi tersebut akan makin tinggi bila digunakan oleh makin banyak orang. Pada tahap tertentu, inovasi tersebut akan menjadi standar yang digunakan oleh umum.

Menariknya, hal ini tak cuma berlaku di bidang teknologi saja. Dalam hal social construction, konsep dependency dan externality ini malah lebih luas aplikasinya. Para sosiolog, ekonom, hingga sejarawan tahu pasti bahwa para aktor dan agen perubahan memegang peranan penting dalam hal pembentukan path ini. Jangan sampai di kemudian hari jalur yang diambil adalah jalur yang salah—-seperti “kesalahan” dalam memilih QWERTY yang inferior atau Microsoft Windows yang banyak kelemahan.

Repotnya, di negara kita pola yang terbentuk malah lebih dekat kepada efek-efek destruktif. Kehidupan hedonis diekspos habis-habisan di sinetron hingga kita tak sadar merasa bahwa kehidupan semacam itulah standar hidup yang umum. Kasus pembunuhan dan mutilasi juga dipaparkan detil sehingga orang terbius bahwa pembunuhan adalah sesuatu yang lumrah. Lebih parah lagi, KKN sekarang sudah menjadi wajar (bahkan wajib) dalam hal berpolitik atau berbisnis.

Kita tentu tahu bahwa hidup boros dan bermewah-mewah bukanlah pilihan yang bijaksana—-sekalipun kita punya uang cukup untuk mewujudkannya. Kita juga tentu tahu bahwa kawin cerai bukan sesuatu yang baik. Kita juga tentu tahu bahwa segala bentuk penganiayaan bukanlah tontonan yang layak dikonsumsi umum. Soal sogok-menyogok dan pelicin, tentu kita sepakat bahwa bukan itu yang kita harapkan. Namun kalau hal yang demikian dibiarkan begitu saja, bukan tidak mungkin kemudharatan semacam itu kelak menjadi “standar” yang umum.

Saat ini efeknya mungkin belum begitu terasa. Tapi saya sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di masa anak cucu kita nanti.

Bagaimana menurut Anda?



sumber:http://nofieiman.com

posted by Dioz,Yosafat,Dion at 18.18

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home